Santri Yang Tertukar

Bang Ridlo
Latest posts by Bang Ridlo (see all)

Hari itu saya sedang melakukan perjalanan menuju kota kelahiran Pak SBY dari kota Reog. Perjalanan dengan menggunakan bis yang mungkin sudah seharusnya masuk di pengasingan bis usang.

Perjalan yang sebenarnya tidak lama, kurang lebih 30 menitan ini menjadi cukup lama dikarenakan berbarengan dengan perayaan 1 Muharram yang dimana jalan-jalan besar dipenuhi oleh barisan manusia dengan segala macam dan jenis kostum plus hingar bingar musik.

Dalam perjalanan ini, jumlah penumpangnya tidak banyak. Kurang lebih hanya seperempat atau mungkin seperlima area penumpang. Saya memilih duduk di belakang karena ingin mendapatkan tiupan angin yang berhembus dari pintu bis yang tidak berpintu.

Di sebelah kanan saya ada seorang santri pondokan yang kelihatannya akan pulang kerumahnya di daerah Ponorogo-Pacitan. Saya tidak mengamati sempurna karena sedang asyik menikmati semilir angin dan suara bising mesin bis ditambah dengan lamunan pohon-pohon dan rumah-rumah yang tampak kejar-kejaran.

Bis ini dilengkapi dengan supir plus kernet yang cukup aktif berkomunikasi satu sama-lain dengan logat khas Jawa ngoko. Karena jalanan cukup macet dalam perjalanan Ponorogo-Pacitan, sedangkan si kernet ini kelihatannya sedang menahan diri untuk buang air kecil sedari tadi. Akhirnya, entah karena sudah tidak tahan lagi atau memang agak rada-rada, si kernet ini menunaikan hajatnya dibalik pohon saat bis sedang terjebak macet. Tanpa cuci tangan.

Wew..dalam hati saya berkata menggumam sendiri serta membayangkan ngeri-ngeri sedap kalo diajak tukeran uang kembalian. Untungnya tadi sudah bayar di awal.

Setelah selesai menunaikan hajatnya, si kernet ini kemudian menghapiri duduk di sebelah si santri sambil mengajak ngobrol. Sedangkan saya masih sibuk dengan pemandangan di sepanjang jalan dan sesekali melirik buku yang saya bawa. Ada obrolan menarik yang tidak sengaja saya dengar karena posisi saya tidak jauh dengan si kernet dan si santri ini. Obrolan ini sudah saya translate ke dalam Bahasa Indonesia, kurang lebihnya seperti ini:

“Nyantri dimana mas?”

“Oh, di Ponorogo sini saja mas.”

“Tangannya kenapa mas?”, tanya si Kernet yang sedari tadi ternyata memperhatikan si santri ini yang ternyata tangan kanannya tidak aktif alias pasif alias tidak bisa digerakkan.

“Gak tahu juga mas. Tiba-tiba bangun tidur sudah seperti ini. Tangan kanan tidak bisa digerakkan.”, jawab si santri sambil memegang lengan kanannya.

“Sampean mau gak tak kasih obatnya? Dulu aku pernah gitu setelah kecelakaan. Saat selesai penyembuhan pasca operasi. Tangan bagian kiri tidak bisa digerakkan. Kata dokter ada masalah di syarafnya.”, kata si kernet sedikit bersemangat.

“Oh ya? Boleh mas. Apa obatnya?”, tanya si santri yang ikutan bersemangat.

“Tapi anu mas. Ini gak tahu ya. Cocok atau enggak obatnya. Soale, sampean kan santri.”, tukas si kernet sambil mengernyitkan dahi tanda ia sedang serius.

“Lho, memangnya apa obatnya?”, tanya si santri yang saya juga ikut bertanya dalam hati sekaligus kepo, apa sih obatnya.

“Ini mas. Aku dulu obatnya adalah minum arak setiap pagi segelas besar (gelas yang biasanya dibuat pesen es teh di warung). Setiap pagi setelah bangun tidur. Sebelum sarapan pagi.”, jawab si kernet dengan mantap.

Si santri hanya memandangi si kernet sambil menganggukkan kepala tanda mengerti namun dengan raut wajah yang seolah mengatakan, “Whatt??? Minum arak???”.

Kemudian si kernet ini langsung menimpali lagi, “Tapi anu mas. Sampean kan santri. Gak boleh minum arak. Haram hukumnya kan? Jangan mas. Pakai obat lain aja. Jangan pakai arak. Arak itu bisa bikin teler. Tuhan melarang meminum arak yang bisa memabukkan. Tapi karena aku dulu udah biasa sih. Jadi minum segelas pagi hari ya biasa aja. Tapi akhirnya tanganku yang kiri bisa digerakkan.”, sembari menunjukkan tangan kirinya yang kini sudah lincah memainkan sebatang rokok kretek.

Saya tergelitik sekaligus takjub dengan obrolan si kernet dan si santri ini. Belum pernah kebayang, seorang kernet yang mohon maaf secara tampilan visual dan gaya bicara khasnya, memberikan nasihat singkat kepada audiennya yang seorang santri. Seorang santri lho. Imajinasi saya seolah mengatakan ini ada yang salah dengan pemeran atau kostum ya. Geli, dicampur dengan takjub. Seolah Allah SWT ingin menunjukkan kepada saya bahwa. Siapapun bisa menjadi perantara petunjuk dan dakwah. Meskipun itu harus melalui lisan seorang kernet yang mohon maaf dengan kebiasaannya buang air di beberapa tempat umum tanpa melakukan thaharah. Ah, bisa saja saya keliru. Bagaimana jika si kernet diam-diam telah mensucikan diri dengan dedaunan dan batu di balik pohon dan saya tidak tahu.

Pelajaran yang berharga bagi saya setelah menyaksikan obrolan antara si kernet dan si santri. Semoga anda juga mendapatkan sesuatu dari cerita saya ini. Jangan suka nge-judge. Jangan suka su’udzon. Perbanyak khusnudzon serta menghargai orang lain, siapapun dan dimanapun. Semoga kita dikaruniai indera yang peka terhadap hidayah yang disebarkan Allah SWT lewat makhluk-Nya, tanpa memandang wujud makhluk-Nya dan beprasangka macem-macem serta hati yang senantiasa bersyukur atas limpahan rahmat-Nya dan hidayah-Nya. Aamiinn..

0

Share on:

Leave a Comment